Langit hari itu sangatlah biru, menyenangkan. Angin tak cukup sepoi, ia bersorak memburu, mengejar rindu yang masih kelabu. Beberapa anak tengah menikmati sorenya, diterbangkan layangannya menuju awan. Berlari, tertawa, bahagia, sesederhana itu.
“Setelah ini ada kegiatan apa?” pria itu membuyarkan lamunanku, ku
tutup telepon genggamku.
“Kenapa?” jawabku.
“Kalau ada orang tanya itu dijawab dulu, bukannya malah balik
tanya.” ungkapnya. Dia duduk disampingku, kita berjarak. Ya selalu seperti
itu, kita punya batasan masing-masing. Kalau kita sedang bersama, artinya
semesta sedang baik-baiknya.
“Mungkin jam 5 nanti ada jadwal sama teman.”
“Semoga menyenangkan ya.”
“Kenapa gitu?”
“Ya aku harapnya, apapun yang kamu lakukan bisa selalu menyenangkan
kamu.”
“Ya memang. Kan kalau bukan kita sendiri yang cari senangnya, gak
akan juga bisa selalu menemui senang. Ku kira kamu mau ajak aku kemana gitu.”
“Iya sih, tapi aku sendiri saja juga masih belum yakin. Apalagi
kalau malam, kamu juga baiknya sudah harus dirumah kan.”
“Kalau belum yakin kenapa harus diomongin?”
“Karena dari obrolan, bisa saja kita menemukan keyakinan itu.”
“Kamu aneh.”
“Yang penting kamu senang.”
“Ya jangan aku saja, kita usahain sama-sama senang itu.”
“Jangan gitu, aku masih belum bisa bahas itu.”
“Kamu mau es di depan sana nggak?”
“Kamu saja mau apa, aku yang jalan.”
“Kalau kita jalan sama-sama saja gimana?”
“Nanti ditempatin orang.”
“Oh iya ya, aku matcha ice saja.”
“Less ice?”
“Enggak, aku baik-baik saja kok sekarang.”
“Tunggu ya.”
Dia beranjak, berpaling, jalan menjauh. Dia aneh, tapi aku suka
dengan keanehannya. Oh iya, dia seperti langit. Riuh badai, hujan, dan anginnya
bisa saja tiba-tiba datang. Tapi kesemuanya, disimpannya dalam satu kotak
rahasia. Menurutku, tidak ada yang tau kotak rahasia itu. Layaknya langit,
birunya menenangkan dan menyenangkan semua orang. Langit, hanya bisa dipandang.
Dia datang kembali, membawa 1 gelas matcha ice dan 1 air mineral.
“Sedang nggak baik ya?” tanyaku.
“Seperti yang aku pernah cerita ke kamu. Karena ada kamu, aku jadi
berusaha menjaga.”
“Ya, memang seharusnya begitu. Aku sebenarnya pengen banget marahin
kamu, tapi kalaupun aku marah dan kamu nggak lakuin apa yang seharusnya. Nggak
ada gunanya juga.”
“Nah itu kamu tau.”
“Kamu selalu begitu.”
“Mau pulang jam berapa?”
“Setelah minuman ini habis, aku pulang.”
“Jangan buru-buru dihabisin kalau gitu.”
“Kalau kamu gini terus, aku juga bisa salah paham.” dia tidak
menjawab, hanya tersenyum.
Terkadang berjalannya waktu bisa terasa lambat, bisa juga terasa
cepat. Ya, itu tergantung dengan bagaimana kita menghabiskan waktu. Dilain
kesibukan, waktu bisa terasa singkat ketika kita dibersamai dengan orang-orang
yang tepat. Kalaupun ada pertanyaan tentang satu permintaan tak masuk akal yang
pernah ku lakukan, barangkali itu saat aku memohon pada Tuhan supaya waktu itu
tak habis begitu saja denganmu. Aku ingin berlama-lama. Cukup dengan duduk berdampingan
saja, membicarakan segala hal sembari menghabiskan satu kesempatan minum bersama.
Kalau saja aku berani berkata dalam dunia nyata, “Bolehkah aku meminta lagi
waktumu untuk kita berdua saja?”
Aku terbangun, sore itu tidurku terlalu panjang.
Ku periksa notif pada telepon genggamku, kini namamu tidak ada dalam daftar yang sering ku hubungi.
Komentar
Posting Komentar