Satu lagu tengah menggema di dalam bis, menemani sore yang cerah. Aku yang duduk di sebelah jendela, merasa kedinginan. Ku eratkan jaket yang ku pakai sedari tadi. Kursi sebelahku kosong, terlalu banyak kursi kosong waktu itu.
Sembari menikmati pilihan lagu yang diputar di dalam bis, ku baca beberapa lembar halaman buku yang hari itu ku bawa. Sambil sesekali menatap jendela, mengamati lalu lalang keramaian di sore hari. Bus tiba-tiba berhenti, seorang laki-laki tampak naik dan menuju ke arahku. Ku pikir dia hendak duduk di seberangku, karena 2 kursi di barisan kiri masih kosong. Belum sempat ku lihat raut wajahnya, laki-laki itu berkata, “Permisi.” Aku mengangguk, mempersilahkan laki-laki itu untuk duduk.
“Apa kabar?” Setelah duduk, laki-laki
itu mengajakku bicara. Nadanya seperti suara yang ku kenal, namun lama tak ku
dengar.
“Baik.” Aku menjawab sesingkatnya,
lalu ku lihat wajahnya dan benar.. dia adalah seseorang yang ku kenal.
“Nggak nyangka ya bisa ketemu,
setelah bertahun-tahun nggak pernah sekalipun kita ketemu.” Katanya sembari
membenarkan duduknya lebih nyaman.
“Iya, kok bisa ya? Kamu apa kabar?”
“Aku baik, sangat baik.” Jawabnya.
“Baru dari mana?”
“Ada beberapa keperluan di luar
kota tadi, sengaja naik bis biar nggak capek. Beruntungnya bisa ketemu kamu.”
“Aku juga nggak biasanya naik bis,
hari ini tiba-tiba ingin. Sepertinya memang kebetulan yang baik.”
“Kebetulan atau takdir ya? Sekarang
sibuk apa?” Tanyanya dengan wajah serius.
“Sekarang masih sibuk kerja. Kalau
kamu?”
“Aku sibuk seperti biasanya,
sepertinya kamu sedikit banyak juga sudah tahu.”
“Oh, iya sih. Kebetulan juga
kemarin tau kamu di salah satu postingan.”
“Postingan? Bukan akun pribadi kan?
Kayaknya bukan kebetulan...”
Aku terbelalak, “Iya, bukan akun
pribadi. Tapi memang tiba-tiba muncul di beranda..”
“Hehehe, iya. Santai saja, nggak
usah gugup. Nggak apa-apa kok.”
“Tampak banget ya ekspresinya dari
raut wajahku?”
“Iya, dari dulu kan begitu. Lucu.
Tapi bukannya kamu sudah unfoll aku? Kok bisa tiba-tiba muncul ya..”
“Ah enggak, enggak tau. Eh aku ada
permen, mau satu?” Aku menawarkan satu permen yang ku simpan di saku jaketku.
“Boleh, boleh..” Dia mengambil
permennya dari tanganku. Dia tersenyum seakan-akan tahu kalau aku tengah
mengalihkan pembicaraan.
***
Beberapa waktu berlalu, kita saling
terdiam. Aku dengan buku yang tengah ku baca dan dia yang serius dengan gawai
yang dipegangnya. Sambil baca buku, aku memikirkan topik apa yang bisa ku bahas
supaya obrolan kita kembali hidup. Belum sampai ku temukan, dia bertanya.
“Kamu tahu kan kalau Risa mau
menikah? Kamu masih dekat sama Risa? Eh kamu lagi baca buku deh ya, maaf.. Kamu
lanjut saja, nggak apa-apa.”
“Oh nggak apa-apa kok.. Iya, aku tahu kalau Risa mau menikah. Kalau masih dekat sih... sepertinya bisa dikatakan
enggak, tapi masih beberapa kali saling komentar di story.”
“Kalau nanti dapat undangan
pernikahannya, kamu mau datang?”
“Lihat tanggalnya dulu deh, kalau
waktunya pas ya aku ngusahain datang. Kamu?”
“Karena kita satu kelas, kayaknya
aku mau datang sih tapi kalau kamu juga datang.”
“Aku? Aku belum tahu karena kalau
weekday, otomatis aku kerja dan kan diluar kota juga.”
“Iya nggak apa-apa, nanti kalau
kamu datang aku juga datang biar aku ada teman, nggak berasa canggung.”
“Kayaknya itu berlaku di aku deh..
Kan kalau kamu datang sendirianpun pasti ketemu sama banyak teman-temanmu.”
“Iya ketemu, tapi rasanya sudah canggung
soalnya sudah nggak dekat.”
“Kan kita juga...”
“Enggak, kita kan sudah dekat lagi
mulai dari hari ini. Kamu mau turun dimana nanti?”
“Aku turun di Jalan Baru. Kamu?”
“Aku sih turun di Jalan Utama, tapi
kayaknya untuk hari ini mau turun di Jalan Baru saja. Biar kita masih ada waktu
ngobrol.”
“Kan ada WhatsApp...”
“Ya nanti lanjut lagi di WhatsApp,
tapi sebelumnya mau ngobrol langsung dulu. Kan kita lama nggak ketemu.” Dia
tersenyum. Masih sama seperti dulu, sama sekali tidak ada yang berubah darinya.
Tapi mungkin ada yang berubah.. seperti salah satunya, perasaan yang sudah tak
lagi sama.
Komentar
Posting Komentar