“Kamu mau pesan apa?”
Tiba-siba
suara itu, tepat menggema. Entah kebetulan atau hanya perasaanku saja.
Aku merasa dia ada di belakangku.
“Kenapa
diam saja sih? Keburu banyak yang antri di belakang.”
“Ah
iya. Mbak, aku mau Milo Macchiato satu, less ice ya.” Tanpa aba-aba, dia
beralih posisi tepat berada di sebelahku.
“Sama
Americano nya satu mbak, less sugar bisa kan ya? Bayar pakai ini saja.”
Dia menyodorkan kartu ATM nya.
“Hah,
kenapa?”
“Udah,
kapan-kapan saja ganti kamu yang bayarin aku.” Jawabnya singkat.
“Emang
kita bakalan ketemu lagi?”
“Itu
Ice nya sudah jadi.” Dia berjalan mendahului dan memberiku segelas Milo
Macchiato favoritku.
“Keburu
pulang?” Tanyanya.
“Enggak.”
“Mau
pulang jam berapa?”
“Sore-an.”
“Kan
aku nanya jam berapa.” Dia mengaktifkan ponselnya.
Selama
sama dia, aku jarang punya banyak keberanian bertanya apa yang dimainkan
diponselnya atau bertanya apa yang sedang dia tonton. Dia asik dengan
dunianya sendiri, selalu. Akupun, begitu.
“Kamu
ngapain?” Tanyanya tiba-tiba.
“Hah?
Aku? Kenapa? Aku nggak ngapa-ngapain.” Jawabku sekenanya. Dia kembali diam.
“Mm,
kamu masih marah?” Tanyaku.
“Nggak,
ngapain marah.”
“Daripada
marah-marah sendiri, bukannya mending tanya ke temen-temen dulu kenapa mereka gitu.
Barangkali alasannya, nggak seburuk yang kamu kira.”
“Ya
emang kadang kita cuma diberi porsi buat jalanin aja, tanpa perlu tau kenapa.”
Yah,
dia si paling teka-teki. Kadang aku nggak paham sama apa yang diobrolin. Nggak semua
orang bisa paham apa yang dimaksud, tapi dia selalu paham maksud orang-orang. Aneh.
Tapi ya begitu adanya. Anehnya lagi, kalau dia nggak ada, aku jadi sering nyari dia.
Komentar
Posting Komentar