03.03 PM

Menit ke 3, aku duduk menatap lalu lalang kendaraan. Sore itu hujan, aku masih belum sampai di rumah. Ku lihat beberapa orang tengah lari terburu-buru layaknya dikejar hewan buas, nyatanya mereka hanya takut terkena guyuran hujan. Aneh ku rasa, mengapa mereka harus lari terburu-buru jikalau hal itu lumrah terjadi. Manusia sibuk dengan berbagai macam pemikirannya.

Habis waktu riuh dengan pemikiranku. Tiba-tiba, tatapanku terhenti pada bayangan dalam kubangan air. Sepertinya aku pernah melihat sosok itu, namun entah dimana, pikiranku belum sampai menerka dan menemukan jawabannya. Lelaki itu duduk disampingku.

"Rumah kamu kan arah utara, kenapa menunggu bis yang lajunya ke arah selatan?" Lelaki itu berbicara tanpa menatapku sama sekali. Tatapannya jauh menerawang jalanan yang lengang karena diguyur hujan. Kedua tangannya sibuk menghangatkan badan yang beberapa menit  lalu diguyur hujan. Jaket yang dipakainya, terasa tak mempan untuk melawan dingin yang terang-terangan memeluknya.

"Hanya ingin duduk disini saja." Jawabku singkat. Malu-malu aku mengambil kesempatan menatap matanya, namun tak kunjung juga ku dapatkan hasil yang serupa.

"Kenapa memilih menghabiskan waktu dengan hal-hal yang nggak penting?" Lelaki itu berdiri, menarik tas yang berada dipunggungnya untuk dihadapkan ke depan. Kemudian lelaki itu mengambil payung yang ada di dalam tas punggungnya itu.

"Kenapa memilih diguyur hujan?" Aku menatap lekat lelaki itu, belum sempat dia menjawab. Aku ditariknya untuk berdiri, berjalan beriringan menuju arah pulang.

"Kenapa aku harus memilih untuk ikut?" Aku mencuri pandang lelaki itu.

"Kalau tidak mau, seharusnya kamu jangan melangkah. Kenapa mau berjalan, padahal tidak tahu arah mana tujuan yang akan dituju?"

"Karena aku melihat, bahwa ada sisi lain dari kamu yang bisa ku percaya untuk aku ikuti."

"Jalan rumahmu?" Lelaki itu akhirnya menatapku. Ku lihat lekat bola mata yang sedari tadi ingin ku cari tau.

"Kenapa?"

"Kamu nggak ingat?"

"Kenapa harus ingat, kalau sebelumnya saja aku tidak pernah tau dan kenal akan keberadaanmu?"

"Aku yang kemarin kamu tabrak di depan gerbang sekolah." Lelaki itu menjawab pertanyaanku dengan mimiknya yang serius. Seketika itu aku teringat momen ketika aku dan dia bertemu dalam satu waktu.

"Jangan bengong. Sudah ingat kan? Sekarang mana sepatuku yang katanya kamu cuci itu? Kamu nggak menyimpannya di tasmu itu kan? Maka dari itu, aku yakin sepatu ku sedang kamu jemur di halaman belakang rumahmu, lalu karena hujan dan tak ada seorang pun yang ada di rumahmu, kini sepatuku pasti basah lagi. Besok mau aku pakai, jadi sekarang aku mau ambil sepatuku." Terkesima aku dengan alasan-alasan yang belum pernah ku kira sebelumnya. Namun benar dikata, atas belasan pernyataan yang dikeluarkan dengan anggapan perkiraan, tak satupun dari itu adalah pernyataan salah.

"Jalan Soekarno, gang 8."

"Karena kita nggak pernah tau, hujan ringan ini akan bisa berganti menjadi deras lagi. Bagaimana kalau kamu mempercepat langkahmu, supaya kita lekas sampai. Aku tau ada beberapa jalan setapak yang bisa mengantarkan kita ke rumahmu dengan cepat. Jadi, ikuti aku saja."

"Ah iya, tapi aku yang asli di daerah sini belum tau kalau ada jalan setapak yang bisa menghubungkan rumah dengan jalanan ini. Kamu yakin?"

"Kalau kamu banyak bertanya dan bicara, itu akan mempengaruhi laju kakimu. Fokuslah berjalan sejenak." Lelaki itu menarik tanganku. Bukan hanya menarik, tapi tangan kita tengah mengikat satu sama lain. Aku merasa tengah dioperasikan olehnya. Program-program yang tercipta dibalik produksi akal sehatku tiba-tiba berhenti begitu saja, mengalah dan menyerah kepada sesosok lelaki yang baru sekali ku temui beberapa hari lalu. Sembari tangan kirinya menggenggam payung untuk meneduhkanku, tangannya yang lain tengah berhasil membuatku lupa pada hujan yang kini menjadi hangat tanpa sebab ku tau. Tangan kanannya hangat menggenggamku.

Komentar